Capek. Lesu dan tidak selera bicara. Itu adalah hal yang
selalu aku rasakan saat pulang ke rumah. Aku sudah cukup merasa penat dengan
kegiatan di kampus. Dosen tidak datang. Tugas yang menggunung. Rapat jurusan.
Rapat komunitas. Rapat ormawa. Ah, segala rapat aku ikuti. Memang aku tidak
selektif saat mengikuti kegiatan di kampus, tapi itu semua aku lakukan agar aku
tidak menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang, kuliah pulang). Dan aku bisa
dibilang anak yang sangat aktif berorganisasi.
Belum lagi kekasihku yang juga butuh
perhatian. Apalagi saat Ia sedang dalam masa manja. Aku dituntut untuk selalu stand by. Hari ini saja sudah
sepuluh pesan dan lima telepon darinya yang aku abaikan. Hari ini aku rindu
masakan Ibu. Aku rindu tawa riang Adik. Hari ini aku rindu rumah. Rindu yang
teramat sangat.
“Lho, Bima. Tumben kamu sudah di
rumah. Sekarang kan baru jam dua siang. Kamu gak ada
kegiatan lain di kampus?” tanya Ibu saat aku sedang mempreteli helm, jaket, dan sepatu.
Begitu beres aku menjawab, “Aku udah
gak ada kegiatan lagi, Bu. Aku Cuma kangen sama Ibu, sama Adik. Pokoknya aku
kangen rumah deh.”
Mungkin kalian aneh karena sedari tadi
aku tidak menyebut tentang Ayah. Aku memang tidak berhubungan baik dengan Ayah.
Sejak kecil Ayah selalu pulang saat aku pergi dan pergi saat aku pulang. Tak
jarang Ia berangkat saat adzan Subuh belum berkumandang. Oleh karena itulah aku
sangat jarang bertemu Ayah.
Dulu aku selalu rindu dengan Ayah.
Setiap hari Minggu aku selalu menanti dengan manis di depan pintu rumah.
Menanti Ayah pulang membawa oleh-oleh untukku. Ibu tak pernah bilang apa-apa
tentang pekerjaan Ayah, tapi Ibu selalu berkata, “Ayahmu pasti akan pulang,
Bima.”
Sebenarnya, dalam sepuluh tahun
terakhir ayah pulang setiap tiga tahun sekali. Satu minggu. Ia pulang ke rumah
selama satu minggu dan hanya berada di dalam ruang kerjanya. Aku bertemu hanya
saat makan malam, tapi setelah makan malam pun ayah segera kembali ke ruang
kerjanya. Jadi, dalam sepuluh tahun itu aku tak pernah menganggap ayah pulang.
Aku hanya menganggap surat yang datang tiap bulan mewakili kepulangan Ayah.
Karena itulah, aku telah lupa bagaimana caranya rindu dengan Ayah.
F F F
“Kak Bimaaaaa, anterin aku sekolah,”
ucap Chila—adikku yang masihh duduk di kelas 3 SD—sambil mencubit pipiku karena
aku masih tertidur.
“Iya, Cantik. Sebentar yaa, kakak cari
kunci motor dulu. Kamu pake sepatu dulu gih,” jawabku seraya beranjak dari
tempat tidurku.
Hari ini aku libur kuliah dan
meliburkan diri dari kegiatan ekstra. Padahal hari ini aku didaulat untuk
menjadi moderator di acara jurusan. Biarlah, aku butuh istirahat. Mungkin tidak
hanya hari ini aku meliburkan diri dari kegiatan itu, tapi untuk beberapa hari.
Aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak di rumah. Aku tidak ingin menjadi
seperti Ayah yang tidak pernah pulang.
“Ayo, Cantik. Kita berangkat sekolah!
Pake helm juga ya, gambar Hello Kitty kesukaan Chila.”
Sekolah Chila tidak begitu jauh dari
rumah, tapi karena harus melewati dua lampu merah, kami harus memakai helm.
“Asyik, helmnya bagus. Ayo kak
berangkat!”
Lima belas menit kemudian kami sampai
di sekolah. Setelah turun dan menyerahkan helm kepadaku, Chila berkata, “Nanti jemput
Chila jam sepuluh ya, Kak. Dadaaaah.”
Dengan cepat aku memutar motorku dan
kembali ke rumah.
“Hari ini kamu gak kuliah, Bim?” tanya
Ibu setelah aku duduk di sebelahnya.
“Libur, Bu. Bima juga mau istirahat.
Capek. Bima juga kangen Ibu sama Chila,” jawabku seraya mengecup kening Ibu.
“POS!!!” seru tukang pos lantang di
depan pagar rumah. Ia selalu mengantarkan surat dari Ayah.
“Nah, itu kiriman surat dari Ayahmu,”
ujar Ibu dengan raut wajah senang. Aku tahu, sebenarnya Ibu berharap lebih.
Bukan hanya tulisan tangan dari yang dicinta, tapi yang Ibu harap adalah sosok
cintanya.
Ibu membaca surat itu dalam hati dan
mendekapkan surat itu ke dada lalu tersenyum lega. Seperti surat-surat sepuluh
tahun lalu, aku tidak diizinkan untuk membacanya. Sejujurnya pun, aku tidak
ingin tahu tentang isi surat itu. Seolah aku menanti isi surat itu, Ibu
berkata, “Ayahmu baik-baik saja kok Bim.”
Hhhh, aku sudah tidak peduli kepada
orang yang tidak pernah pulang itu, Bu!
F F F
Sudah dua bulan tidak ada kiriman
surat dari Ayah. Ibu pun tidak bisa menyembunyikan wajah cemasnya dariku.
Setiap senggang, Ibu hanya akan duduk di depan televisi sambil bola
matanya—yang tak bisa diam—melirik ke arah pintu. Berharap tukang pos datang dengan
surat dari Ayah.
Aku yang lebih mencemaskan Ibu
daripada keadaan Ayah pun berkata lancang, “Udah lah, Bu. Ngapain sih
nungguin surat dari orang yang gak pernah pulang? Mungkin dia udah lupa sama
kita, Bu.”
“Bima, jangan pernah kamu berkata
seperti itu!! Ayahmu ingat dan bahkan sangat peduli kepada kita. Memang dari
mana Ibu mendapat uang untuk membiayai kuliahmu??? Dari Ayah!! Ayah tidak
pernah pulang karena Ia mencemaskan keadaan kita. Kalau Ayah menuruti egonya,
Ayah akan pulang saat Ayah tahu Ibu sedang mengandung Chila!” ucap Ibu marah.
Astaga! Apa yang telah aku ucapkan
tadi? Ibu sangat marah karena ucapanku yang sembrono itu. Bodoh, bodoh,
bodoh!!! Maafkan aku Ibu. Aku sudah terlanjur benci dengan makhluk yang
berlabelkan Ayah itu. Ayah yang wajahnya sudah samar dalam ingatanku
meskipun fotonya yang sedang tersenyum manis itu dipajang di ruang
tamu. Ayah yang sudah aku lupa bagaimana rasa kasih sayangnya. Bahkan aku sudah
lupa bagaimana rasanya mempunyai Ayah.
Ibu benar-benar marah karena ucapanku tadi.
Seharian ini Ibu enggan berbicara denganku. Ibu yang biasa memanggilku makan
malam, tadi berganti dengan Chila. Ibu tidak pernah semarah ini kepada
anak-anaknya. Itu berarti ucapanku sudah sangat keterlaluan.
“Bu, maaf ya atas ucapanku tadi. Aku
udah sangat keterlaluan. Gak seharusnya aku sebenci itu sama Ayah,” ucapku saat
selesai makan malam.
“Sudah lah, lupakan masalah tadi. Ibu
juga terbawa emosi,” jawab Ibu lembut.
“Memang, apa pekerjaan Ayah? Aku
gak pernah tau apa kerjaan Ayah. Surat-surat dari Ayah pun aku gak pernah
diizinkan untuk membacanya.”
“Ibu tidak bisa memberitahukanmu. Ini
amanat dari Ayah. Ia takut kalau Ibu memberitahukannya, kalian akan khawatir.
Maaf, Bima.”
Selepas itu, aku berkegiatan
seperti biasa. Kuliah, mengurusi semua kegiatanku, membuat makalah, powerpoint,
dan presentasi. Sampai aku menerima telepon dari Ibu yang mengubah semua
kegiatanku hari ini.
“Bima, Ayah sudah pulang,” ucap Ibu lirih dari
seberang telepon.
Ayah pulang? Akan tetapi kenapa Ibu
bersuara sedih? Bukankah itu yang Ibu inginkan? Kepulangan ayah setelah sepuluh
tahun tidak pulang! Aku harus pulang. Bukan untuk memastikan Ayah pulang
membawa oleh-oleh untukku, tapi untuk memastikan keadaan Ibu baik-baik saja.
F F F
Sesampainya di depan pagar rumah, aku disergap
kebingungan. Begitu banyak orang berseragam militer, kepolisian, atau seragam
apalah itu namanya! Sekarang tidak penting mereka berseragam apa, yang penting
adalah Ibu!
Apakah Ayah adalah seorang teroris
atau seorang pengedar narkoba? Atau Ayah.... Ah, pikir apa aku ini! Seharusnya
aku senang Ayah pulang karena akhirnya aku bisa merasakan bagaimana rasanya
punya Ayah secara sebenarnya. Akan tetapi aku sangat kaget. Lebih dari saat aku
melihat segerombolan orang berseragam itu.
Kali ini aku melihat sebuah peti mati
bertutupkan bendera merah putih yang disebelahnya terdapat sesosok jasad kaku
yang wajahnya aku ingat samar. Aku berjalan mendekat untuk memastikan. Dari
kejauhan aku melihat Ibu dan Chila yang menangis tersedu. Sedih. Sangat sedih.
Ingatanku masih bagus rupanya. Sesosok
jasad kaku yang aku ingat sebagai Ayah, ternyata memang Ayah. Di sampingku Ibu
terus bergumam, “Ayah sudah pulang...” Aku lemas. Lututku terasa tidak
bertulang dan ingin copot. Astaga, Ayah. Aku bahkan belum sempat merasakan
kasih sayangmu secara utuh.
Akhirnya hari ini aku tahu pekerjaan
Ayah. Ayah adalah seorang anggota Militer Indonesia yang belakangan ini terus
menerus dikirim untuk menyelesaikan perang di beberapa negara. Setiap ayah
pulang, ia selalu membuat rancangan perang terbaru. Ayah meninggal dalam tugas
negara terakhirnya. Surat dua bulan lalu adalah surat terakhir dari Ayah.
Ayah, sekarang Ayah telah menepati
janji. Sekarang Ayah sudah pulang. Benar-benar sudah pulang.
Menohok gini endingnya
BalasHapusCerpen eksperimen hehe. Semoga menghibur :)
HapusFiksi atau Non fiksi?
BalasHapusfiksi, bro :D
Hapus