“Assalammu’alaikum,
Bundaaaaa,” ucap Indra, Gea, dan Sandra bersamaan saat mereka melangkah
memasuki rumah teduh ini.
Belum
aku menjawab salam mereka, Bayu dan Bima—anak kembarku—berlari kecil ke arahku
dan serta-merta memelukku dengan tawa riang. Sedangkan dari ruang tengah
terdengar celotehan Trista dan Dika yang berebut mainan. Yah, beginilah suasana
istanan kecilku. Tak pernah sepi. Selalu saja diramaikan oleh suara-suara
malaikat kecil tercintaku.
Setelah
Bayu dan Bima beranjak dari sekelilingku, aku pergi menghampiri Indra, Gea, dan
Sandra serta menjawab, “Wa’alaikumussalam, gimana tadi di sekolah?”
“Bereeeees,
Bunda. Ujian harian lancar, tugas lancar, dan.....” jawab Indra yang disela
oleh Sandra.
“Pacaran
lancar! Ya kan, Kak? Hahahaha,” celetuk Sandra yang disusul tawa riuh Gea,
Sandra, dan juga aku.
“Eh,
jagoan bunda udah punya pacar kok gak bilang-bilang sama bunda??” ujarku sambil
mencubit kecil perut Indra.
“Gak
kok, Bunda. Sandra mah emang tukang gosip. Temen sebangku Indra aja dia bilang
pacar,” kilah Indra dengan pipi merah merona.
“Alah
Kak Indra. Bukan pacar kok pipinya merah gitu kayak kepiting rebus. Hahaha,”
timpal Gea.
“Ah,
udah udah. Kok jadi pada nanya mulu kayak wartawan?!” ucap Indra berlagak
ngambek.
“Eh,
kita bukan wartawan tauk. Kita kan paparazzi,” tambah Gea yang
masih saja tertawa melihat ekspresi Indra.
“Sekarang
wartawannya berhenti nanya dulu buat makan siang. Kalian ke meja makan aja
dulu, bunda mau manggil si kembar, Trista, dan juga Dika,” ujarku menengahi.
Saat
aku menghampiri Trista dan Dika, mereka masih saja memperebutkan mainan. Ah,
aku selalu lupa meminta Mas Surya untuk membelikan mainan itu lagi. Agar mereka
tidak perlu memperebutkan mainan itu lagi.
“Sudah
sudah, gak usah berebut lagi. Nanti bunda telpon ayah untuk memebelikan satu
lagi mainan seperti itu. Sekarang makan siang dulu yaaa,” ujarku sambil
membenahi mainan yang berserakan di lantai.
“Bener
ya, Bunda. Nanti beliin mainan itu lagi. Biar Kak Dika gak ngambil mainan aku
lagi,” ucap Trista cadel dengan bibir kecilnya.
Setelah
selesai, aku pergi mencari Bayu dan Bima di halaman belakang. Si kembar ini
memang yang paling aktif. Mereka senang sekali berkejaran dan bermain petak
umpet.
“Bayuuu,
Bimaaaa, ngumpet di mana yaaaa??,” ucapku sambil berpura-pura mencari dan
memeluk mereka dari belakang dan berkata,”Kena! Sekarang kita makaaaan,
Jagoan!”
*
* *
“Siapa
yang tadi minta mainan sama ayaaaaah???” ucap riang Mas Surya saat tiba dari
kantor dan duduk di ruang tengah.
“Aku,
aku, aku!!!” jawab Trista dan Dika berbarengan.
“Ih,
Trista. Kamu kan udah punya mainan yang tadi siang. Sekarang mainan ini punya
akuuu,” ucap polos Dika, khas anak-anak.
“Ayaaah,
masa aku dikasih mainan bekas. Aku kan juga mau yang baru,” celetuk Trista,
cemberut.
“Iya
anak cantik ayah. Ayah beli robot-robotan buat Dika.”
“Asyiiiiik,
robot Ben 10!!! Makasih ayaaaaah,” ujar Dika senang seraya mengecup
pipi Mas Surya. Cup!
“Dan
buat Trista, anak cantik ayah, ayah punya boneka Barbie yang
cantik seperti kamu.”
“Makasih
ayaaaah,” celoteh Trista dan mengecup pipi Mas Surya juga.
Cup!
Setelah
itu, aku membantu Mas Surya mencopot dasi juga sepatunya. Dan kami berbincang
dengan pemandangan Trista dan Dika yang tengah asyik bermain dengan mainan
barunya.
“Anak-anak
yang lain sudah tidur, Bun?” tanya Mas Surya lembut.
“Indra,
Gea, dan Sandra langsung belajar setelah makan malam tadi. Bayu dan Bima sudah
tidur. Seharian ini mereka patroli di rumah,” jawabku diselingi tawa kecil.
“Alhamdulillah
ya, Bun. Allah mengirimkan mereka semua untuk kita. Sehingga rumah dan rizki
kita tidak mubadzir. Meski mereka bukan....”
“Hush,
Ayah! Jangan pernah berpikir mereka bukan buah hati kita. Memang mereka tidak
lahir dari rahimku, tapi mereka lebih dari itu. Mereka malaikat yang dikirim
Allah untuk kita.”
“Astaghfirullah,
maafkan ayah ya, Bun. Terimakasih sudah mengingatkan betapa dahsyatnya
malaikat-malaikat kita,” ucap Mas Surya seraya mengecup keningku.
Dan
kami pun menggendong Trista dan Dika yang sudah terlelap tidur menuju kamar.
Selamat tidur malaikatku.
*
* *
“Jagoan kembar ayaaah, bangun bangun. Kita jamaah solat subuh yuk!,” ajak Mas
Surya lembut sambil mengusap kening Bayu dan Bima.
“Siap,
Ayaaaaaah,” sahut Bayu dan Bima lemas dan masih mengantuk.
Sesaat
kemudian kami telah selesai solat subuh. Indra, Gea, dan Sandra beres-beres
untuk sekolah. Sedangkan Trista, Dika, Bayu, dan Bima kembali tidur dan menarik
selimut hingga menutupi sebagian wajah mereka. Hhh, lucunya. Saat semua sibuk
merapikan diri, aku ke dapur untuk memasak sarapan untuk keluarga kecilku.
“Bunda,
kita berangkat sekolah dulu yaaa,” ucap Indra, Gea, dan Sandra. Lalu mencium
tanganku bergantian.
“Ayah
juga ya, Bun,” uja Mas Surya tak lupa mengecup keningku.
“Assalammu’alaikum,”
sambung Mas Surya yang diekor Indra, Gea, dan Sandra.
Seperti
biasa, pukul 07.00 pagi rumah menjadi agak sepi. Sekarang giliranku untuk
membangunkan keempat malaikatku yang lain. Ternyata, mereka semua sudah bangun
dan sedang menanti untuk menggunakan kamar mandi. Tepat pukul 07.30 semua sudah
rapi. Aku pun mengantar dan menunggu mereka di taman kanak-kanak yang tak jauh
dari rumah.
Pukul
10.00, kami sudah berjalan pulang. Sepanjang jalan, Trista, Dika, Bayu, dan
Bima tak hentinya berceloteh tentang pengetahuan baru yang mereka dapat. Dan
saat kami sudah mendekati rumah, kami berlomba untuk tiba lebih dahulu. Lalu,
Bayu dan Bima lah yang pertama kali sampai di depan gerbang. Menanti dengan
nafas terengah sedangkan aku dan Trista berjalan santai. Akan tetapi, raut
wajah terengah mereka tidak seperti biasa. Kali ini mereka menunggu dengan
nafas terengah dan raut wajah yang gembira.
Seperti
Indra yang mendapatkan nilai sempurna dalam pelajaran kimia. Seperti Gea yang
baru saja memenangkan lomba menyanyi tahun lalu, seperti Sandra yang meraih
juara satu lomba pidato. Seperti trista yang memperoleh barbie baru
semalam, dan juga seperti Dika yang mendapat robot Ben 10.
Saat
aku mendekat, dengan riang Bayu berucap, “Bunda, kita dapat adik baru lagi!”
“Adik
perempuan yang sangaaaat cantik!” sambung Bima dengan wajah tak kalah berbinar.
Astaghfirullah,
lagi-lagi bayi mungil yang tidak diinginkan keberadaanya. Seperti malaikatku
yang lain, ujarku dalam hati sambil menolehkan pandanganku kepada Trista, Dika,
Bayu, dan juga Bima.
Sadar
keempat buah hatiku melihatku termenung, aku berkata dengan riang,
“Alhamdulillah, bertambah satu lagi malaikat kecil ayah dan bunda.”
Selamat datang, Cinta, di rumah seribu
malaikat.
Komentar
Posting Komentar