Langsung ke konten utama

Yang tak pernah pulang...

Capek. Lesu dan tidak selera bicara. Itu adalah hal yang selalu aku rasakan saat pulang ke rumah. Aku sudah cukup merasa penat dengan kegiatan di kampus. Dosen tidak datang. Tugas yang menggunung. Rapat jurusan. Rapat komunitas. Rapat ormawa. Ah, segala rapat aku ikuti. Memang aku tidak selektif saat mengikuti kegiatan di kampus, tapi itu semua aku lakukan agar aku tidak menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang, kuliah pulang). Dan aku bisa dibilang anak yang sangat aktif berorganisasi.
Belum lagi kekasihku yang juga butuh perhatian. Apalagi saat Ia sedang dalam masa manja. Aku dituntut untuk selalu stand by. Hari ini saja sudah sepuluh pesan dan lima telepon darinya yang aku abaikan. Hari ini aku rindu masakan Ibu. Aku rindu tawa riang Adik. Hari ini aku rindu rumah. Rindu yang teramat sangat.

“Lho, Bima. Tumben kamu sudah di rumah. Sekarang kan baru jam dua siang. Kamu gak ada kegiatan lain di kampus?” tanya Ibu saat aku sedang mempreteli helm, jaket, dan sepatu.

Begitu beres aku menjawab, “Aku udah gak ada kegiatan lagi, Bu. Aku Cuma kangen sama Ibu, sama Adik. Pokoknya aku kangen rumah deh.”

Mungkin kalian aneh karena sedari tadi aku tidak menyebut tentang Ayah. Aku memang tidak berhubungan baik dengan Ayah. Sejak kecil Ayah selalu pulang saat aku pergi dan pergi saat aku pulang. Tak jarang Ia berangkat saat adzan Subuh belum berkumandang. Oleh karena itulah aku sangat jarang bertemu Ayah.

Dulu aku selalu rindu dengan Ayah. Setiap hari Minggu aku selalu menanti dengan manis di depan pintu rumah. Menanti Ayah pulang membawa oleh-oleh untukku. Ibu tak pernah bilang apa-apa tentang pekerjaan Ayah, tapi Ibu selalu berkata, “Ayahmu pasti akan pulang, Bima.”

Sebenarnya, dalam sepuluh tahun terakhir ayah pulang setiap tiga tahun sekali. Satu minggu. Ia pulang ke rumah selama satu minggu dan hanya berada di dalam ruang kerjanya. Aku bertemu hanya saat makan malam, tapi setelah makan malam pun ayah segera kembali ke ruang kerjanya. Jadi, dalam sepuluh tahun itu aku tak pernah menganggap ayah pulang. Aku hanya menganggap surat yang datang tiap bulan mewakili kepulangan Ayah. Karena itulah, aku telah lupa bagaimana caranya rindu dengan Ayah. 
F      F   F
“Kak Bimaaaaa, anterin aku sekolah,” ucap Chila—adikku yang masihh duduk di kelas 3 SD—sambil mencubit pipiku karena aku masih tertidur.

“Iya, Cantik. Sebentar yaa, kakak cari kunci motor dulu. Kamu pake sepatu dulu gih,” jawabku seraya beranjak dari tempat tidurku.

Hari ini aku libur kuliah dan meliburkan diri dari kegiatan ekstra. Padahal hari ini aku didaulat untuk menjadi moderator di acara jurusan. Biarlah, aku butuh istirahat. Mungkin tidak hanya hari ini aku meliburkan diri dari kegiatan itu, tapi untuk beberapa hari. Aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak di rumah. Aku tidak ingin menjadi seperti Ayah yang tidak pernah pulang.

“Ayo, Cantik. Kita berangkat sekolah! Pake helm juga ya, gambar Hello Kitty kesukaan Chila.”

Sekolah Chila tidak begitu jauh dari rumah, tapi karena harus melewati dua lampu merah, kami harus memakai helm.

“Asyik, helmnya bagus. Ayo kak berangkat!”

Lima belas menit kemudian kami sampai di sekolah. Setelah turun dan menyerahkan helm kepadaku, Chila berkata, “Nanti jemput Chila jam sepuluh ya, Kak. Dadaaaah.”

Dengan cepat aku memutar motorku dan kembali ke rumah.

“Hari ini kamu gak kuliah, Bim?” tanya Ibu setelah aku duduk di sebelahnya.

“Libur, Bu. Bima juga mau istirahat. Capek. Bima juga kangen Ibu sama Chila,” jawabku seraya mengecup kening Ibu.

“POS!!!” seru tukang pos lantang di depan pagar rumah. Ia selalu mengantarkan surat dari Ayah.

“Nah, itu kiriman surat dari Ayahmu,” ujar Ibu dengan raut wajah senang. Aku tahu, sebenarnya Ibu berharap lebih. Bukan hanya tulisan tangan dari yang dicinta, tapi yang Ibu harap adalah sosok cintanya.

Ibu membaca surat itu dalam hati dan mendekapkan surat itu ke dada lalu tersenyum lega. Seperti surat-surat sepuluh tahun lalu, aku tidak diizinkan untuk membacanya. Sejujurnya pun, aku tidak ingin tahu tentang isi surat itu. Seolah aku menanti isi surat itu, Ibu berkata, “Ayahmu baik-baik saja kok Bim.”

Hhhh, aku sudah tidak peduli kepada orang yang tidak pernah pulang itu, Bu!
F      F   F
 Sudah dua bulan tidak ada kiriman surat dari Ayah. Ibu pun tidak bisa menyembunyikan wajah cemasnya dariku. Setiap senggang, Ibu hanya akan duduk di depan televisi sambil bola matanya—yang tak bisa diam—melirik ke arah pintu. Berharap tukang pos datang dengan surat dari Ayah.

Aku yang lebih mencemaskan Ibu daripada keadaan Ayah pun berkata lancang, “Udah lah, Bu. Ngapain sih nungguin surat dari orang yang gak pernah pulang? Mungkin dia udah lupa sama kita, Bu.”

“Bima, jangan pernah kamu berkata seperti itu!! Ayahmu ingat dan bahkan sangat peduli kepada kita. Memang dari mana Ibu mendapat uang untuk membiayai kuliahmu??? Dari Ayah!! Ayah tidak pernah pulang karena Ia mencemaskan keadaan kita. Kalau Ayah menuruti egonya, Ayah akan pulang saat Ayah tahu Ibu sedang mengandung Chila!” ucap Ibu marah.

Astaga! Apa yang telah aku ucapkan tadi? Ibu sangat marah karena ucapanku yang sembrono itu. Bodoh, bodoh, bodoh!!! Maafkan aku Ibu. Aku sudah terlanjur benci dengan makhluk yang berlabelkan Ayah itu. Ayah yang wajahnya sudah samar dalam ingatanku meskipun  fotonya yang sedang tersenyum manis itu dipajang di ruang tamu. Ayah yang sudah aku lupa bagaimana rasa kasih sayangnya. Bahkan aku sudah lupa bagaimana rasanya mempunyai Ayah.

Ibu benar-benar marah karena ucapanku tadi. Seharian ini Ibu enggan berbicara denganku. Ibu yang biasa memanggilku makan malam, tadi berganti dengan Chila. Ibu tidak pernah semarah ini kepada anak-anaknya. Itu berarti ucapanku sudah sangat keterlaluan.

“Bu, maaf ya atas ucapanku tadi. Aku udah sangat keterlaluan. Gak seharusnya aku sebenci itu sama Ayah,” ucapku saat selesai makan malam.

“Sudah lah, lupakan masalah tadi. Ibu juga terbawa emosi,” jawab Ibu lembut.

“Memang, apa pekerjaan Ayah? Aku gak pernah tau apa kerjaan Ayah. Surat-surat dari Ayah pun aku gak pernah diizinkan untuk membacanya.”

“Ibu tidak bisa memberitahukanmu. Ini amanat dari Ayah. Ia takut kalau Ibu memberitahukannya, kalian akan khawatir. Maaf, Bima.”

Selepas itu, aku berkegiatan seperti biasa. Kuliah, mengurusi semua kegiatanku, membuat makalah, powerpoint, dan presentasi. Sampai aku menerima telepon dari Ibu yang mengubah semua kegiatanku hari ini.

“Bima, Ayah sudah pulang,” ucap Ibu lirih dari seberang telepon.

Ayah pulang? Akan tetapi kenapa Ibu bersuara sedih? Bukankah itu yang Ibu inginkan? Kepulangan ayah setelah sepuluh tahun tidak pulang! Aku harus pulang. Bukan untuk memastikan Ayah pulang membawa oleh-oleh untukku, tapi untuk memastikan keadaan Ibu baik-baik saja.
F      F   F 
Sesampainya di depan pagar rumah, aku disergap kebingungan. Begitu banyak orang berseragam militer, kepolisian, atau seragam apalah itu namanya! Sekarang tidak penting mereka berseragam apa, yang penting adalah Ibu!

Apakah Ayah adalah seorang teroris atau seorang pengedar narkoba? Atau Ayah.... Ah, pikir apa aku ini! Seharusnya aku senang Ayah pulang karena akhirnya aku bisa merasakan bagaimana rasanya punya Ayah secara sebenarnya. Akan tetapi aku sangat kaget. Lebih dari saat aku melihat segerombolan orang berseragam itu.

Kali ini aku melihat sebuah peti mati bertutupkan bendera merah putih yang disebelahnya terdapat sesosok jasad kaku yang wajahnya aku ingat samar. Aku berjalan mendekat untuk memastikan. Dari kejauhan aku melihat Ibu dan Chila yang menangis tersedu. Sedih. Sangat sedih.

Ingatanku masih bagus rupanya. Sesosok jasad kaku yang aku ingat sebagai Ayah, ternyata memang Ayah. Di sampingku Ibu terus bergumam, “Ayah sudah pulang...” Aku lemas. Lututku terasa tidak bertulang dan ingin copot. Astaga, Ayah. Aku bahkan belum sempat merasakan kasih sayangmu secara utuh.

Akhirnya hari ini aku tahu pekerjaan Ayah. Ayah adalah seorang anggota Militer Indonesia yang belakangan ini terus menerus dikirim untuk menyelesaikan perang di beberapa negara. Setiap ayah pulang, ia selalu membuat rancangan perang terbaru. Ayah meninggal dalam tugas negara terakhirnya. Surat dua bulan lalu adalah surat terakhir dari Ayah.

Ayah, sekarang Ayah telah menepati janji. Sekarang Ayah sudah pulang. Benar-benar sudah pulang.



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Review] Klinik Kehamilan Sehat Duren Sawit

I'm 22 weeks pregnant already!!! Itu artinya sudah separuh perjalanan sampai Baby Z untuk  launching   and   I'm never been this happy. Doa yang selalu sama Ibuk sebut dalam setiap sujud adalah kesehatan dan keselamatam kita ya, Kak. Aamiin  ❤ Seperti judul yang sudah terpampang jelas, kali ini gue bakal mencoba sharing pengalaman gue datang ke Klinik Kehamilan Sehat untuk meet up sama Baby Z yaaa. No offense , benar-benar sudut pandang gue sebagai customer . Hope you guys enjoy! keadaan parkiran klinik pas gue sama bee keluar buat maghriban. gedungnya ada di tengah yaa

"Jajan" DSOG

Haiii, berhubung bukan blogger beneran jadinya gini deh. Ngeblog suka-suka hehehe. Mungkin aneh yaa liat judulnya, tapi ini ungkapan paling gampang sih hehehe. Yup, di usia kandungan yang memasuki 31minggu ini gue masih "jajan" DSOG (dokter spesialis obgyn/dokter kandungan). Kenapa? Karena gue abis pindah rumah, dari yang sebelumnya di daerah Bekasi ke Kemayoran. Rumah lama yang gue tempatin. Tapi, tetep berduan sama Pak Suami karena sekeluarga pindah ngikutin kuliahnya adek gue. Jauuuuhhh hari sebelum jadwal kontrol, gue sibuk browsing  cari nama-nama dokter yang cukup direkomendasiin sama buibu di forum-forum. Muncul beberapa nama dari berbagai macam rumah sakit. Cumaaa karena niat awal maunya di RS Islam Cempaka Putih dan dengan DSOG cewek, jadi gue kerucutkan deh nama-nama DSOG cewek di RS Islam Cempaka Putih. Nama yang mudah dan sering muncul adalah nama dr. Onny. Beliau juga praktik di RSIA Tambak dan pasiennya selalu ruameeeeeee kalo di Tambak sana. Kemudian ada

Hello, tiny itsy bitsy

We are a happy parents to be! Yes. P-A-R-E-N-T-S :) Alhamdulillah - pinterest